Subscribe:

Jumat, 18 Oktober 2013

Deklarasi HAM di Arafah



Hak-hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Allah swt. kepada umat manusia. Karena itu, tak ada kekuasaan dan kekuatan apapun di dunia ini yang berhak mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu seseorang dapat berbuat sekendak hatinya, sebab ia juga diharuskan menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain.
Dari sisi historisnya, umumnya para pakar sejarah Eropa berpendapat bahwa cikal bakal (embrio) lahirnya HAM di mulai pada awal-awal abad ke-12 masehi di Inggris, kemudian berkembang sampai ke negara-negara Eropa lainnya dan kemudian diikuti pula oleh negara-negara di benua Amerika. Adapun pendeklarasian HAM secara resmi baru dilakukan oleh PBB setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada Desember 1948. Rumusan HAM yang dicetuskan PBB ini kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights, deklarasi universal hak-hak asasi manusia ini diumumkam sebagai suatu ‘standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara’.

Bila kita mencermati secara seksama ketiga puluh pasal yang termaktub dalam deklarasi HAM sedunia itu, kemudian kita kembali membuka lembaran-lembaran tarikh (sejarah) kehidupan Rasulullah saw. maka dapat disimpulkan bahwa esensi universalitas HAM yang sesungguhnya telah dirumuskan oleh Rasulullah jauh sebelum orang-orang barat itu mengenal HAM.
Seperti diketahui, dalam rangkaian riwayat ibadah haji ada satu babak yang dinamakan Hajjatul-wada’(haji perpisahan), yaitu ibadah haji terakhir yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. peristiwa tersebut terjadi pada tahun ke-10 Hijriyah (632M).
Saat itu, di tengah-tengah padang tandus Arafah dihadapan kurang lebih 114.000 umat Islam yang melaksanakan ibadah haji bersamanya. Beliau menyampaikan serangkaian khutbah yang ringkas namun sangat bernas. Isi khutbah yang dikenal dengan khutbatul-wada’ (pidato perpisahan) inilah yang kemudian menjadi pegangan hidup umat Islam dari abad ke abad, mengandung isu-isu yang sangat fundamental dan esensial yang pada garis besarnya menyangkut hak-hak asasi umat manusia yang sampai hari ini terus ramai diperbincangkan.
Dari pidato tersebut dapat disimpulkan rumusan-rumusan Rasulullah saw. mengenai HAM. Setidaknya ada enam hal yang menjadi fokus utama dalam pidato tersebut, yaitu pertama ; Perlindungan terhadap jiwa, harta benda dan lain-lain. Pada bagian pertama pidato Rasulullah itu mengandung pernyataan bahwa jiwa dan harta benda haruslah senantiasa dihormati dan dilindungi. Tidak diperkenankan seorang manusiapun mengambil harta benda milik orang lain, menganiaya, apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang, tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh ajaran agama. Rasulullah menuturkan, ‘sesungguhnya darah (jiwa) dan harta kamu adalah suci sebagaimana sucinya hari dan bulan yang suci ini. Sampai datang saatnya kamu menghadap Allah, di mana kamu akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan kamu di hadapan-Nya’.
Kedua; Semangat bertanggung jawab. Beliau menegaskan bahwa setiap orang harus memikul konsekwensi atas tindakan dan perbuatannya sendiri. Tidak boleh melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, atau berusaha mencari ‘kambing hitam’. Tanggung jawab itu adalah hal yang bersifat pribadi, sehingga seorang ayah secara hukum tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas tindak pidana yang dilakukan oleh anaknya sendiri. Demikian pula sebaliknya. Dan hal ini tidak hanya berlaku dalam kehidupan di dunia ini, tapi juga di akhirat kelak di hadapan Mahkamah Ilahiyah yang paling adil dan bijaksana.
Ketiga; Kewajiban memelihara dan menunaikan amanah. Setiap amanah adalah ibarat barang titipan yang harus dipelihara dan tidak boleh dihilangkan. Rasulullah mengingatkan bahwa ada tiga macam amanah yang seyogyanya ditunaikan oleh manusia, yaitu amanah ibadah kepada Allah swt, amanah sosial terhadap sesama makhluk ciptaan-Nya dan amanah terhadap diri sendiri.
Karena itu kesejatian seorang manusia dapat diukur sejauhmana ia dapat mengemban amanah yang diberikan kepadanya. Sebaliknya kebejatan seseorang dapat pula dilihat dari cara orang itu menyikapi amanah yang dititipkan padanya. Demikian pentingnya menjaga sebuah amanah, sampai Allah swt. menjadikannya sebagai salah satu syarat mencapai kesuksesan. Sebagaimana ditegaskan dalam firmannya, ‘Sesungguhnya orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya, akan mendapatkan kemenangan’. (QS.al-Mukminun: 8).
Keempat; Menghapuskan praktek-praktek riba. Dalam lanjutan khutbahnya Muhammad saw. mengemukakan persoalan yang juga hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, yaitu mengenai riba. Beliau mengatakan, ‘Sejak hari ini, semua bentuk riba tidak berlaku lagi. Tetapi kamu berhak mengambil modal pokok dari pinjaman kamu. Jangan sampai kamu menganiaya orang lain atau kamu dianiaya orang (karena riba itu)’.
Rasulullah saw. merasa penting untuk segera mengumumkan penghapusan praktek riba yang berlaku umum di masyarakat ketika itu, karena melihat bahwa transaksi-transaksi sistem riba itu telah sampai pada tingkat yang sangat meresahkan masyarakat umum, terutama golongan masyarakat yang termasuk kategori ekonomi lemah. Orang-orang kaya ketika itu sengaja meminjamkan uangnya kepada mereka yang butuh untuk mengambil keuntungan yang banyak tanpa harus berusaha, karena itu mereka mensyaratkan riba yang sangat mencekik leher. Dengan demikian mereka tidak lagi menghargai hak-hak asasi orang-orang yang lemah itu, sebab dengan dalih hutang mereka leluasa berbuat aniaya terhadap orang lain.
Kelima; Mengangkat derajat kaum wanita. Sebelum Islam datang, kedudukan wanita sangat rendah di mata masyarakat, mereka hanya dianggap sebagai sarana pemuas hawa nafsu, diperlakukan laksana daun pisang yang dipakai menjadi payung di waktu hujan, kemudian setelah hujan berhenti, ia dilemparkan di jalanan sehingga diinjak-injak oleh setiap orang yang lewat. Karena itu, dalam khutbahnya, Rasulullah saw. mengangkat derajat wanita ke tingkat yang sesuai dengan nilai-nilai dan hak kemanusiaan, yang sekarang dikenal dengan istilah emansipasi.
Keenam; Membangun ukhuwwah Islamiyah. Pada bagian lain dari khutbahnya Beliau mengingatkan pentingnya membangun persaudaraan atas dasar ajaran Islam (ukhuwwah Islamiyah), sebab dengan inilah kita dapat membangun dan membentuk persaudaraan atas dasar kemanusiaan (solidaritas), sehingga kehidupan yang aman, damai dan sejahtera dapat terwujud. ‘Tiap-tiap muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, dan kaum muslimin secara keseluruhan adalah bersaudara. Tidak seorangpun dibenarkan mengambil sesuatu yang menjadi hak saudaranya, kecuali jika diberikan dengan kerelaan hati dan janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri’.
Demikian poin-poin penting yang menjadi intisari dari khutbah yang disampaikan oleh Rasulullah 14 abad yang lampau di tempat yang sebentar lagi akan dipenuhi oleh sekitar dua jutaan umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu Padang Arafah.
Apabila kita perhatikan persoalan-persoalan yang diangkat oleh Rasulullah saw. dalam khutbahnya di atas, maka sebenarnya esensi yang dikandungnya itulah yang menjadi pokok-pokok hak asasi manusia yang dirumuskan dalam “Declaration of Human rights”. Dan itulah yang diperjuangkan, dihormati dan dipertahankan oleh negara-negara dan bangsa-bangsa yang beradab di zaman kemajuan ini.
Wallahu a’lam bis-shawab.
Salam,
Muhammad Ilham Muchtar
Sumber

0 komentar:

Posting Komentar